Rabu, 23 Februari 2011

Pandangan Hak Perburuhan

LATAR BELAKANG
Secara umum gerakan buruh di Indonesia diyakini telah atau tengah tidur panjang baik oleh elemen dan pendukung gerakan maupun - dan terutama - oleh kalangan yang berada di luar gerakan. Bahkan untuk sementara kalangan, gerakan buruh dianggap sudah tidak relevan dan tidak ada harapan. Pandangan semacam itu tidak sepenuhnya salah karena secara sistematis dan obyektif memang muncul fakta-fakta yang melahirkan dan menguatkan pandangan tersebut.
Sejak Orde Baru berkuasa, politik perburuhan didominasi oleh warna korporatis dengan kebijakan-kebijakan perburuhan yang represif untuk mengendalikan serikat buruh yang membuahkan serikat buruh kuning yang jinak. Meskipun ada dinamika yang memunculkan riak-riak yang berbeda, dan memandang dari permukaan, secara umum hampir sepanjang Orde Baru praktis tak ada yang dapat disebut sebagai gerakan buruh. Namun pengamatan yang sedikit lebih mendalam memperlihatkan justru dalam tekanan, bibit-bibit gerakan terus disemai dan tumbuh dan merupakan penyumbang bagi bergeliatnya gerakan buruh di masa-masa setelahnya hingga kini.
Setelah Orde Baru berakhir, peluang untuk lahirnya gerakan buruh melalui dibukanya pintu berserikat secara bebas dirayakan dengan munculnya begitu banyak serikat dalam jumlah yang mencengangkan yang menghasilkan perpecahan dan persaingan antar serikat. Kebebasan berserikat juga tidak menambah jumlah buruh yang berserikat, meskipun jumlah organisasi serikat buruh menjadi sangat banyak.
Meskipun demikian, sejak paruh kedua satu decade orde reformasi, mulai muncul tunas-tunas yang tersemai untuk bangkitnya kembali gerakan buruh di tengah situasi yang sangat didominasi oleh kekuatan modal yang hampir sepenuhnya menentukan berapa luas ruang gerak yang dapat dimiliki oleh buruh. Situasi tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Studi ini ingin memahami jaringan perburuhan sebagai salah satu strategi memperjuangkan kepentingan buruh dalam konteks gerakan buruh di Indonesia dengan cara memotret pergerakan dan aktivitas para pelaku gerakan melalui kegiatan berjaringan yang dilakukan, dengan mengambil rentang waktu 1980 hingga 2006.

FOKUS DAN PERTANYAAN PENELITIAN
Perkembangan dan strategi berjaringan yang dilakukan oleh elemen-elemen gerakan buruh di Indonesia, dengan memusatkan jaringan yang muncul di Jakarta dengan sedikit perbandingan pengalaman dari Bandung. Dua pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana profil dan dinamika jaringan perburuhan dalam kurun 1980-2006?
2. Apa keluaran dan apa dampak kegiatan jaringan perburuhan terhadap situasi gerakan buruh saat ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut penelitian ini membagi pembabakan jaringan buruh dalam empat kurun waktu, masing-masing untuk periode 80an-90an, tahun 1991-1997, tahun 1998-2003 dan tahun 2004-2006. Pembabakan ini didasarkan pada kebijakan industrialisasi dan kebijakan perburuhan yang dominan yang menjadi konteks sekaligus factor penting yang mempengaruhi situasi dan dinamika jaringan buruh. Pembabakan dilakukan dalam upaya untuk dapat melihat kesinambungan, perubahan dan perkembangan yang terjadi yang menyangkut strategi berjaringan, aktor-aktor jaringan, isu utama yang diangkat yang akan memberikan gambaran mengenai perubahan strategi gerakan buruh dalam usaha menggapai kepentingannya.
SUMBER INFORMASI
Informasi dalam penelitian ini dikumpulkan secara kualitatif melalui wawancara dengan 18 orang aktivis SB, 8 orang aktivis LSM, 3 mantan aktivis perburuhan, 1 orang dari lembaga donor. Sumber lain adalah dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh jaringan-jaringan yang diteliti, catatan pertemuan jaringan, seminar, lokakarya yang diselenggarakan oleh elemen jaringan yang dihadiri atau dilibati oleh AKATIGA, data-data sekunder berupa dokumen-dokumen penelitian yang relevan dari AKATIGA dan dari penelitian yang dilakukan pihak lain. Sebagian dokumen juga berasal dari hasil penelitian Kosuke Mizuno dkk yang telah terbit sebagai Direktori Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia (AKATIGA-CSEAS 2007).


KERANGKA BERPIKIR
Gambar di bawah ini menggambarkan kerangka yang digunakan untuk memahami situasi dan dinamika jaringan:

DEFINISI KERJA
Gerakan buruh adalah aksi-aksi (dalam berbagai bentuk) kaum pekerja untuk mendesakkan kepentingan mereka kepada pemerintah dan pengusaha. Gerakan buruh selain terdiri dari serikat buruh, juga LSM dan mahasiswa serta anggota kelas menengah dan akademisi (warga universitas dalam hal ini dosen).
JARINGAN PERBURUHAN
himpunan aktor-aktor perburuhan yang dibentuk untuk mempengaruhi atau mendesakkan kebijakan perburuhan tertentu.
Temuan Penelitian.
Dinamika, bentuk aksi dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan factor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor gerakan. Dengan kata lain tidak ada factor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.
Kebijakan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi yang bertumpu pada investasi asing dan didukung oleh pengendalian serikat buruh adalah kerangka dominan yang membingkai ruang gerak gerakan buruh selama Orde Baru berkuasa hingga senjakalanya. Ketika rezim Orde Baru berganti, tumpuan pada investasi asing semakin besar meskipun pengendalian terhadap serikat buruh sangat dikendurkan oleh Negara akan tetapi secara sistematis dilemahkan oleh modal dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan kata lain modal adalah penentu utama, bila tidak satu-satunya, setting arena gerakan buruh di Indonesia sejak awalnya.
Mencermati perkembangan situasi perburuhan selama empat periode, berikut ini adalah ciri-ciri yang muncul:
 Pada periode 80-90 dalam iklim SB tunggal jaringan perburuhan beranggota hanya serikat buruh dan dibentuk oleh sebagian serikat buruh lapangan kerja yang menolak unitarisme dari FBSI menjadi SPSI yang menghapus otoritas dan kewenangan SBLP dalam mengurus anggotanya dan mengalihkannya ke pengurus pusat SPSI. Aksi jaringan SBLP menghasilkan dikembalikannya kewenangan sector dan metode pendidikan untuk penguatan basis di tingkat pabrik sebagai ujung tombak kekuatan serikat. Keluaran dari metode pendidikan tersebut adalah aktivis-aktivis tingkat basis yang kritis terhadap SPSI dan pemerintah yang kelak menjadi tokoh serikat buruh alternatif.
Di masa ini dikeluarkan kebijakan yang mengizinkan militer secara legal melakukan intervensi dan terlibat dalam kasus perselisihan perburuhan serta penempatan militer pensiun maupun aktif dalam jajaran manajemen maupun pengurus serikat merupakan hal yang jamak. Semua ini menandai rezim perburuhan yang sangat represif tetapi sekaligus memunculkan tokoh-tokoh perlawanan dari SPSI yang menjadi motor jaringan untuk melawan keterlibatan militer dalam urusan perburuhan.
Akhir periode ini juga ditandai oleh munculnya LSM perburuhan yang bergerak untuk melakukan pembelaan terhadap eksploitasi dan kondisi kerja buruk yang dialami oleh buruh pabrik-pabrik padat karya yang menghasilkan garmen dan sepatu untuk pasar ekspor, ketika SPSI praktis tidak melakukan apa-apa. Selain melakukan pembelaan, LSM perburuhan juga melakukan pendidikan organisasi dan hak-hak buruh kepada para buruh di tingkat pabrik.
 Periode 90-97 ditandai oleh SB tunggal federatif dan dibukanya kebebasan untuk mendirikan SB tingkat basis meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui pemerintah. SPSI yang tetap mandul di masa ini melahirkan jaringan perburuhan yang dimotori LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme dan menolak UU Ketenagakerjaan 25/1997. Di masa ini pula lahir dua serikat buruh alternative yang juga dimotori oleh LSM. Sangat jelas dalam periode ini LSM memegang peran penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh. Gerakan LSM perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi berjaringan dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.
Intervensi militer dalam urusan perburuhan semakin meresahkan dan menjadi isu utama yang diangkat oleh jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM. Iklim perlindungan HAM di tingkat internasional berhembus pula di Indonesia yang menyebabkan munculnya banyak LSM perburuhan dan kegiatan beberapa tokoh LSM tersebut antara lain adalah dibentuknya SB alternative. Pendirian SBSI dan pendeklarasiannya yang dihadiri oleh LSM perburuhan dan kelompok-kelompok buruh dampingan LSM dari Jawa dan Sumatera Utara menunjukkan sentralnya peran LSM dalam gerakan buruh di Indonesia.
Kasus Marsinah tahun 1993 yang menghebohkan yang menjadi bukti intervensi militer melahirkan berbagai jaringan LSM dan mahasiswa untuk menggalang solidaritas dan memprotes keras kasus tersebut. Tekanan jaringan terhadap kasus ini cukup efektif juga karena didukung oleh media massa. Kasus ini diusut secara sangat berliku dan para pelakunya dijatuhi hukuman.
Aksi buruh yang fenomenal yang dimotori oleh ketua SBSI yang mantan aktivis LSM, Mohtar Pakpahan terjadi di Medan tahun 1994 yang berhasil mengerahkan ribuan buruh untuk menuntut besaran upah minimum.
LSM pula yang menjadi roh gerakan menolak UU Ketenagakerjaan tahun 25/97 di akhir senjakala Orde Baru. 12 LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi penolakan UU tersebut ditandai dengan dikeluarkannya buku yang berisi pemikiran para ahli mengenai mengapa UU itu harus ditolak. Dalam pandangan KPHP UU tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan berorganisasi dan mogok, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan UU 25/97 juga dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompok-kelompok buruh. Situasi politik yang rentan, awal krisis ekonomi dan aksi-aksi penolakan yang konsisten yang menyebabkan kepala-kepala pemerintahan yang silih berganti dalam kurun waktu amat pendek mengambil sikap aman dengan penundaan pemberlakuan UU tersebut menunjukkan penolakan ini sangat berhasil. Dan selama lima tahun UU untuk mengatur perburuhan kembali ke UU lama sebelum akhirnya dikeluarkan UU 13/2003.
Dalam periode ini dikeluarkan kebijakan upah minimum dan untuk selanjutnya tuntutan upah minimum menjadi agenda aksi pokok dalam aksi-aksi buruh disamping agenda menolak kebijakan-kebijakan lain yang merugikan buruh.
LSM juga membentuk jaringan untuk mengangkat isu perempuan dalam perburuhan yang selama ini selalu terpisah. Jaringan ini beranggotakan aktivis perempuan LSM yang mengurus isu perempuan dan kelompok-kelompok buruh perempuan serta berusaha memasukkan isu perempuan dalam jaringan LSM dan buruh yang menangani isu buruh secara umum. Kegiatan jaringan untuk isu buruh perempuan ini berhasil memasukkan gagasan tentang persoalan kesehatan reproduksi dan K3 dalam RUU PPK dan PHI melalui jaringan yang beranggotakan LSM dan buruh untuk isu buruh yang lebih umum meskipun kemudian karena jaringan tersebut bubar tak ada kelanjutan gagasan itu untuk diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam kaitannya dengan pengangkatan isu perempuan, dibentuk jaringan buruh dan LSM yang bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk mengurus organisasi buruh.
Jaringan-jaringan perburuhan di masa ini dimotori oleh LSM perburuhan yang bekerja sama dengan kelompok-kelompok buruh di tingkat basis baik yang merupakan anggota SPSI maupun bukan, yang kritis. Penting dicatat bahwa SPSI sebagai sebuah organisasi tidak pernah terlibat dalam jaringan dan aksi-aksinya karena menganggap LSM perburuhan tidak memiliki kewenangan atau urusan dalam persoalan perburuhan. Pertautan hubungan yang intensif di antara LSM dengan kelompok buruh mengalami pasang surut dan menghasilkan sifat hubungan semacam ‘benci tapi rindu’ di antara keduanya. Beberapa pertemuan dilakukan di antara keduanya maupun internal masing-masing mengenai bagaimana sebaiknya peran LSM : menjadi serikat atau menjadi pendukung serikat. Perdebatan mengenai hal ini ternyata cukup tajam dan mampu menyebabkan perpecahan dalam jaringan. Di kalangan buruh LSM acap dianggap sebagai penjual buruh kepada para donor akan tetapi pada saat yang sama berbagai kebutuhan dana kelompok buruh dipenuhi melalui jaringannya dengan LSM yang secara langsung mempunyai hubungan dan akses kepada donor. Perdebatan ini tetap berlangsung di masa-masa setelahnya bahkan hingga saat ini (lihat misalnya indoprogress.blogspot.com/2007/10 dan /2008/03/).
Patut dicatat di sini bahwa LBH adalah LSM yang sangat sentral dalam dinamika jaringan dan aksi buruh di Jakarta dan sekitarnya. Disanalah digagas dan dilaksanakan berbagai pembentukan dan aksi-aksi jaringan buruh. Bagaimanapun, peran LSM dalam membentuk jaringan dan menggerakkan aksi-aksi buruh di masa ini tak dapat disangkal. Demikian juga peran LSM dalam mendorong munculnya dua serikat buruh baru yang fenomenal di tengah rezim yang represif.
Periode 1998-2003 ditandai dengan keragaman serikat buruh dengan munculnya kebebasan berserikat. Segera muncul puluhan serikat dan secara garis besar terdapat empat kelompok serikat buruh yakni kelompok SPSI, kelompok pecahan SPSI, kelompok serikat yang tak ada latar belakang serikat buruh dan kelompok SB dukungan atau bentukan LSM. Lima tahun pertama masa kebebasan berserikat memperlihatkan situasi yang memprihatinkan karena serikat buruh yang menjadi elemen utama gerakan selain sangat banyak ternyata juga sangat rentan terhadap perpecahan, SPSI mengalami perpecahan yang intensif. Tiga kelompok serikat lain juga tak kebal terhadap perpecahan yang parah dan merisaukan .
Di tengah bermunculannya serikat, jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dan kelompok serikat buruh independent serta kelompok serikat pecahan SPSI tetap aktif, berdampingan dengan kegiatan jaringan buruh yang dimotori dan beranggotakan para aktivis serikat pekerja kelompok pecahan SPSI dan serikat yang baru sama sekali. Jaringan-jaringan tersebut dibentuk untuk merespon peraturan mengenai pesangon dan proses kebijakan perumusan paket 3 UU Perburuhan dengan strategi masing-masing. Jaringan untuk menolak perubahan ketentuan pesangon sebagaimana dicantumkan dalam keputusan menteri no.78 tahun 2001 dan no.111 tahun 2001 dibentuk oleh SB dan LSM dengan melakukan tekanan melalui aksi massa yang dilakukan serentak di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Aksi penolakan ini kemudian tidak berlanjut karena perhatian dialihkan kepada isu RUU PPI dan PPK yang kelak menjadi UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI.
Jaringan yang digerakkan oleh LSM melakukan serangkaian kegiatan advokasi dengan konferensi pers, diskusi-diskusi pembahasan RUU, rapat dengar pendapat dengan parlemen yang dilengkapi dengan aksi massa dan permintaan peninjauan kembali UU 13/2003. Jaringan serikat kelompok pecahan SPSI mengambil strategi yang mirip dengan strategi jaringan LSM tetapi tanpa aksi massa dan wakil-wakil mereka dipilih oleh parlemen untuk membahas RUU 13/2003 dan 04/2004. Jaringan kelompok ini juga mendapatkan fasilitas dari pemerintah dalam berbagai bentuk antara lain penggunaan gedung Depnaker untuk mengadakan pertemuan-pertemuannya.
Jaringan lain yang muncul masa ini adalah jaringan yang dibentuk untuk mendesak pemerintah agar secara resmi 1 Mei diakui sebagai hari buruh dan diperingati. Jaringan ini mendesakkan tuntutannya melalui aksi-aksi massa yang diorganisir dengan rapi dan memperluas anggota jaringan dengan merangkul media massa, mahasiswa, aktivis etnis Cina dan LSM miskin kota dan melakukan aksinya di setiap peringatan 1 Mei. Hingga kini 1 Mei memang dapat diperingati oleh buruh dengan berbagai aksi dan kegiatan.
Muncul pula jaringan yang difasilitasi oleh donor antara lain jaringan untuk memantau pelaksanaan Code of Conduct dengan anggota para aktivis serikat dan LSM perburuhan.
Di periode ini peran LSM sebagai penggerak jaringan menyurut dibandingkan periode sebelumnya dan serikat mulai memimpin dan mengambil inisiatif. Tampaknya ini semacam konsekuensi logis dari munculnya organisasi-organisasi buruh karena iklim kebebasan berserikat. Dan secara alamiah hal ini juga merupakan hasil dari proses-proses pendidikan dan pengkaderan yang selama ini dilakukan oleh para aktivis perburuhan.
PERIODE 2004-2006
Situasi kebijakan yang memberlakukan praktek buruh kontrak dan outsourcing melalui UU 13/2003 menjadi agenda utama jaringan-jaringan buruh yang di masa ini lebih banyak digerakkan oleh serikat. Strategi aksi massa untuk menolak praktek hubungan kerja yang sangat merugikan buruh itu dilakukan oleh berbagai jaringan buruh tidak saja di Jakarta tetapi juga di kota-kota lain. Peringatan 1 Mei menjadi saat yang selalu digunakan untuk mengangkat isu ini. Isu ini juga menyatukan buruh dari berbagai serikat dan dari berbagai sector termasuk sector jasa dan kerah putih yang selama ini tidak menjadi anggota jaringan.
Masa ini muncul tanda-tanda serikat menjadi semakin solid setidaknya dengan dilakukannya aksi massa yang menggabungkan hampir semua kelompok serikat buruh. Satu aksi besar yang sangat berhasil yang dilakukan pada 1 Mei 2006 harus dicatat dalam sejarah gerakan buruh kita karena berhasil membatalkan rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU 13/2003. Aksi ini seperti mengulang keberhasilan aksi jaringan yang menolak UU 25/1997.
Dengan melihat jaringan-jaringan yang pernah ada dalam periode ini, dapat dikatakan bahwa dibandingkan pada periode sebelumnya, meski aktornya relatif tetap, jumlah jaringan yang terbentuk makin menyusut. Dalam jaringan-jaringan di periode ini, peran SB makin besar sementara peran LSM makin berkurang. Isu upah masih terus menjadi isu jaringan, sementara isu perempuan masih tetap marginal dan sulit untuk sinergi dengan isu yang dominan.
Perkembangan terakhir menunjukkan sedang mulai terjadinya kristalisasi kekuatan serikat di tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. Kristalisasi serikat terjadi dengan dibentuknya jaringan antar serikat dari keempat kelompok yang berusaha menyatukan agenda aksi untuk memberikan artikulasi yang lebih kuat terhadap persoalan-persoalan perburuhan yang paling meresahkan dan harus menjadi prioritas.
KESIMPULAN
• Gerakan buruh di Indonesia tak pernah mati. Aksi-aksi buruh yang dilakukan dengan strategi berjaringan yang melibatkan elemen-elemen gerakan terus dilakukan baik secara berkesinambungan maupun secara independent. Kegiatan berjaringan sebagai upaya mengartikulasikan kepentingan buruh merupakan sebuah cara yang efektif untuk menjaga denyut gerakan buruh.
• Dinamika, bentuk aksi dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan factor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor gerakan. Dengan kata lain tidak ada factor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.
• Terdapat kesinambungan kegiatan jaringan dari periode ke periode terutama dari sisi actor. Sebagian actor penggerak jaringan mempunyai kaitan sejarah dengan periode 80an baik sebagai pelaku maupun sebagai hasil kaderisasi yang terjadi dalam setiap periode. Usaha-usaha penguatan basis melalui kegiatan pendidikan keorganisasian dan hak-hak buruh yang terus-menerus dilakukan sangat bermanfaat dalam menyiapkan kader-kader pemimpin buruh dan gerakan saat ini.
• LSM berperan penting dalam pembentukan jaringan-jaringan perburuhan khususnya di periode ketika serikat masih tunggal. Perannya menyurut seiring dengan munculnya serikat-serikat buruh yang semakin kuat dan berpengaruh.
• Terdapat perkembangan strategi aksi jaringan dari yang berciri reaktif menjadi proaktif, dari hanya merespon situasi atau kebijakan yang tidak menguntungkan, berkembang menjadi mendesakkan kebijakan atau mengusulkan konsep-konsep baru.
• Ditengah persaingan dan perpecahan serikat serta persoalan internal yang terus dihadapi baik oleh LSM maupun serikat, kemunculan jaringan-jaringan buruh menyiratkan bahwa hal-hal positif lah yang dibawa oleh masing-masing anggota jaringan sehingga tujuan pembentukan berbagai jaringan relative mencapai tujuannya. Dinamika jaringan juga menunjukkan adanya kesadaran bahwa aksi bersama akan lebih kuat pengaruhnya dibandingkan aksi individual dan hal ini melahirkan potensi kristalisasi kekuatan buruh di tengah situasi fragmentasi.
• Terdapat kristalisasi kekuatan serikat buruh di tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. Kristalisasi ini merupakan bukti bagaimana serikat buruh belajar bahwa perpecahan bersifat kontraproduktif terhadap gerakan dan kepentingan buruh, dan bahwa hanya pihak ‘musuh’ yang akan diuntungkan dari perpecahan itu.

SUMBER : http://www.akatiga.org/index.php/penelitian/diseminasi/91-dinamika-perburuhan