Minggu, 22 Mei 2011

KESELAMATAN KERJA


Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tidak dapat dipisahkan dengan proses produksi baik jasa maupun industri. Perkembangan pembangunan setelah Indonesia merdeka menimbulkan konsekwensi meningkatkan intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya resiko kecelakaan di lingkungan kerja. Hal tersebut juga mengakibatkan meningkatnya tuntutan yang lebih tinggi dalam mencegah terjadinya kecelakaan yang beraneka ragam bentuk maupun jenis kecelakaannya. Sejalan dengan itu, perkembangan pembangunan yang dilaksanakan tersebut maka disusunlah UU No.14 tahun 1969 tentang pokok-pokok mengenai tenaga kerja yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi UU No.12 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.
Dalam pasal 86 UU No.13 tahun 2003, dinyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat serta nilai-nilai agama. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, maka dikeluarkanlah peraturan perundangan-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja sebagai pengganti peraturan sebelumnya yaitu Veiligheids Reglement, STBl No.406 tahun 1910 yang dinilai sudah tidak memadai menghadapi kemajuan dan perkembangan yang ada.
Peraturan tersebut adalah Undang-undang No.1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja yang ruang lingkupnya meliputi segala lingkungan kerja, baik di darat, didalam tanah, permukaan air, di dalam air maupun udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang tersebut juga mengatur syarat-syarat keselamatan kerja dimulai dari perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang produk tekhnis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan. Walaupun sudah banyak peraturan yang diterbitkan, namun pada pelaksaannya masih banyak kekurangan dan kelemahannya karena terbatasnya personil pengawasan, sumber daya manusia K3 serta sarana yang ada. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya untuk memberdayakan lembaga-lembaga K3 yang ada di masyarakat, meningkatkan sosialisasi dan kerjasama dengan mitra sosial guna membantu pelaksanaan pengawasan norma K3 agar terjalan dengan baik.
Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengembangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi.
Dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari karyawan/pekerja di sektor kesehatan tidak terkecuali di Rumah Sakit maupun perkantoran, akan terpajan dengan resiko bahaya di tempat kerjanya. Resiko ini bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat tergantung jenis pekerjaannya.
Dari hasil penelitian di sarana kesehatan Rumah Sakit, sekitar 1.505 tenaga kerja wanita di Rumah Sakit Paris mengalami gangguan muskuloskeletal (16%) di mana 47% dari gangguan tersebut berupa nyeri di daerah tulang punggung dan pinggang. Dan dilaporkan juga pada 5.057 perawat wanita di 18 Rumah Sakit didapatkan 566 perawat wanita adanya hubungan kausal antara pemajanan gas anestesi dengan gejala neoropsikologi antara lain berupa mual, kelelahan, kesemutan, keram pada lengan dan tangan. Di perkantoran, sebuah studi mengenai bangunan kantor modern di Singapura dilaporkan bahwa 312 responden ditemukan 33% mengalami gejala Sick Building Syndrome (SBS). Keluhan mereka umumnya cepat lelah 45%, hidung mampat 40%, sakit kepala 46%, kulit kemerahan 16%, tenggorokan kering 43%, iritasi mata 37%, lemah 31%.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diseleng-garakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja.
HAL-HAL YANG BERHUBUNGAN PELAKSANAAN K3 PERKANTORAN
Ada beberapa hal penting yang harus mendapatkan perhatian sehubungan dengan pelaksanaan K3 perkantoran, yang pada dasarnya harus memperhatikan 2 (dua) hal yaitu indoor dan outdoor, yang kalau diurai seperti dibawah ini :
• Konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya terhadap bahaya kebakaran serta kode pelaksanaannya.
• Jaringan elektrik dan komunikasi.
• Kualitas udara.
• Kualitas pencahayaan.
• Kebisingan.
• Display unit (tata ruang dan alat).
• Hygiene dan sanitasi.
• Psikososial.
• Pemeliharaan.
• penggunaan Komputer.
PERMASALAHAN K3 PERKANTORAN DAN REKOMENDASI
Konstruksi gedung :
• Disain arsitektur (aspek K3 diperhatikan mulai dari tahap perencanaan).
• Seleksi material, misalnya tidak menggunakan bahan yang membahayakan seperti asbes dll.
• Seleksi dekorasi disesuaikan dengan asas tujuannya misalnya penggunaan warna yang disesuaikan dengan kebutuhan.
• Tanda khusus dengan pewarnaan kontras/kode khusus untuk objek penting seperti perlengkapan alat pemadam kebakaran, tangga, pintu darurat dll. (peta petunjuk pada setiap ruangan/unit kerja/tempat yang strategis misalnya dekat lift dll, lampu darurat menuju exit door).
Kualitas Udara :
• Kontrol terhadap temperatur ruang dengan memasang termometer ruangan.
• Kontrol terhadap polusi
• Pemasangan “Exhaust Fan” (perlindungan terhadap kelembaban udara).
• Pemasangan stiker, poster “dilarang merokok”.
• Sistim ventilasi dan pengaturan suhu udara dalam ruang (lokasi udara masuk, ekstraksi udara, filtrasi, pembersihan dan pemeliharaan secara berkala filter AC) minimal setahun sekali, kontrol mikrobiologi serta distribusi udara untuk pencegahan penyakit “Legionairre Diseases “.
• Kontrol terhadap linkungan (kontrol di dalam/diluar kantor).
• Misalnya untuk indoor: penumpukan barang-barang bekas yang menimbulkan debu, bau dll.
• Outdoor: disain dan konstruksi tempat sampah yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan, dll.
• Perencanaan jendela sehubungan dengan pergantian udara jika AC mati.
• Pemasangan fan di dalam lift.
Kualitas Pencahayaan (penting mengenali jenis cahaya) :
• Mengembangkan sistim pencahayaan yang sesuai dengan jenis pekerjaan untuk membantu menyediakan lingkungan kerja yang sehat dan aman. (secara berkala diukur dengan Luxs Meter)
• Membantu penampilan visual melalui kesesuaian warna, dekorasi dll.
• Menegembangkan lingkungan visual yang tepat untuk kerja dengan kombinasi cahaya (agar tidak terlalu cepat terjadinya kelelahan mata).
• Perencanaan jendela sehubungan dengan pencahayaan dalam ruang.
• Penggunaan tirai untuk pengaturan cahaya dengan memperhatikan warna yang digunakan.
• Penggunaan lampu emergensi (emergency lamp) di setiap tangga.


Jaringan elektrik dan komunikasi (penting agar bahaya dapat dikenali) :
Internal
• * Over voltage
• * Hubungan pendek
• * Induksi
• * Arus berlebih
• * Korosif kabel
• * Kebocoran instalasi
• * Campuran gas eksplosif
Eksternal
• * Faktor mekanik.
• * Faktor fisik dan kimia.
• * Angin dan pencahayaan (cuaca)
• * Binatang pengerat bisa menyebabkan kerusakan sehingga terjadi hubungan pendek.
• * Manusia yang lengah terhadap risiko dan SOP.
• * Bencana alam atau buatan manusia.
Rekomendasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perkantoran
• Penggunaan central stabilizer untuk menghindari over/under voltage.
• Penggunaan stop kontak yang sesuai dengan kebutuhan (tidak berlebihan) hal ini untuk menghindari terjadinya hubungan pendek dan kelebihan beban.
• Pengaturan tata letak jaringan instalasi listrik termasuk kabel yang sesuai dengan syarat kesehatan dan keselamatan kerja.
• Perlindungan terhadap kabel dengan menggunakan pipa pelindung.
Kontrol terhadap kebisingan :
• Idealnya ruang rapat dilengkapi dengan dinding kedap suara.
• Di depan pintu ruang rapat diberi tanda ” harap tenang, ada rapat “.
• Dinding isolator khusus untuk ruang genset.
• Hak-hal lainnya sudah termasuk dalam perencanaan konstruksi gedung dan tata ruang.
Display unit (tata ruang dan letak) :
• Petunjuk disain interior supaya dapat bekerja fleksibel, fit, luas untuk perubahan posisi, pemeliharaan dan adaptasi.
• Konsep disain dan dan letak furniture (1 orang/2 m?).
• Ratio ruang pekerja dan alat kerja mulai dari tahap perencanaan.
• Perhatikan adanya bahaya radiasi, daerah gelombang elektromagnetik.
• Ergonomik aspek antara manusia dengan lingkungan kerjanya.
• Tempat untuk istirahat dan shalat.
• Pantry dilengkapi dengan lemari dapur.
• Ruang tempat penampungan arsip sementara.
• Workshop station (bengkel kerja).
Hygiene dan Sanitasi :
Ruang kerja
• Memelihara kebersihan ruang dan alat kerja serta alat penunjang kerja.
• Secara periodik peralatan/penunjang kerja perlu di up grade.
Toilet/Kamar mandi
• Disediakan tempat cuci tangan dan sabun cair.
• Membuat petunjuk-petunjuk mengenai penggunaan closet duduk, larangan berupa gambar dll.
• Penyediaan bak sampah yang tertutup.
• Lantai kamar mandi diusahakan tidak licin.
Kantin
• Memperhatikan personal hygiene bagi pramusaji (penggunaan tutup kepala, celemek, sarung tangan dll).
• Penyediaan air mengalir dan sabun cair.
• Lantai tetap terpelihara.
• Penyediaan makanan yang sehat dan bergizi seimbang. Pengolahannya tidak menggunakan minyak goreng secara berulang.
• Penyediaan bak sampah yang tertutup.
• Secara umum di setiap unit kerja dibuat poster yang berhubungan dengan pemeliharaan kebersihan lingkungan kerja.

sumber : http://astaqauliyah.com
http://www.wikimu.com

Jumat, 15 April 2011

jaminan sosial tenaga kerja

Visi

Menjadi lembaga jaminan sosial tenaga kerja terpercaya yang unggul dalam pelayanan dan memberikan manfaat optimal bagi seluruh peserta dan keluarganya.

Misi

Sebagai badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang memenuhi perlindungan dasar bagi tenaga kerja serta menjadi mitra terpercaya bagi;

* Tenaga Kerja: Memberikan perlindungan yang layak bagi tenaga kerja dan keluarga
* Pengusaha: Menjadi mitra terpercaya untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan produktivitas
* Negara: Berperan serta dalam pembangunan


FILOSOFI JAMSOSTEK

1.
JAMSOSTEK dilandasi filosofi kemandirian dan harga diri untuk mengatasi resiko sosial ekonomi. Kemandirian berarti tidak tergantung orang lain dalam membiayai perawatan pada waktu sakit, kehidupan dihari tua maupun keluarganya bila meninggal dunia. Harga diri berarti jaminan tersebut diperoleh sebagai hak dan bukan dari belas kasihan orang lain.
2.
Agar pembiayaan dan manfaatnya optimal, pelaksanaan program JAMSOSTEK dilakukan secara gotong royong, dimana yang muda membantu yang tua, yang sehat membantu yang sakit dan yang berpenghasilan tinggi membantu yang berpenghasilan rendah.

Sejarah

Penyelenggaraan program jaminan sosial merupakan salah satu tangung jawab dan kewajiban Negara untuk memberikan perlindungan sosial ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan Negara, Indonesia seperti halnya berbagai Negara berkembang lainnya, mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security, yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada masyarakat pekerja di sektor formal.

Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan.

Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.

Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.

Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan pada pasal 34 ayat 2, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengesahkan Amandemen tersebut, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja.

Kiprah Perseroan yang mengedepankan kepentingan dan hak normative Tenaga Kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.

Dengan penyelenggaraan yang makin maju, program Jamsostek tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa.

Jamsostek adalah singkatan dari jaminan sosial tenaga kerja, dan merupakan program publik yang memberikan perlindungan bagi tenaga kerja untuk mengatasi risiko sosial ekonomi tertentu dan penyelenggaraannya menggunakan mekanisme asuransi sosial.

Sebagai Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dalam bidang asuransi sosial. PT Jamsostek (Persero) merupakan pelaksana undang-undang jaminan sosial tenaga kerja.
Sebagai program publik, Jamsostek memberikan hak dan membebani kewajiban secara pasti (compulsory) bagi pengusaha dan tenaga kerja berdasarkan Undang-undang No.3 tahun 1992 mengatur Jenis Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK),sedangkan kewajiban peserta adalah tertib administrasi dan membayar iuran.

Dalam meningkatkan pelayanan jamsostek tak hentinya melakukan terobosan melalui sistem online guna menyederhanakan sistem layanan dan kecepatan pembayaran klaim hari tua (JHT)
[sunting] Peraturan tentang Jamsostek

* Pengaturan program kepesertaan jamsostek adalah wajib melalui Undang-Undang No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
* Pengaturan tentang pelaksanaannya jamsostek dituangkan dalam:
o Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1993.
o Keputusan Presiden No.22 Tahun 1993.
o Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.Per-12/Men/VI/2007.

[sunting] Perlindungan oleh jamsostek

Program ini memberikan perlindungan yang bersifat mendasar bagi peserta jika mengalami risiko-risiko sosial ekonomi dengan pembiayaan yang terjangkau oleh pengusaha dan tenaga kerja.

Risiko sosial ekonomi yang ditanggulangi oleh Program Jamsostek terbatas yaitu perlindungan pada :

* Peristiwa kecelakaan
* Sakit
* Hamil
* Bersalin
* Cacat
* Hari tua
* Meninggal dunia

Hal-hal ini mengakibatkan berkurangnya dan terputusnya penghasilan tenaga kerja dan/atau membutuhkan perawatan medis.
[sunting] Filosofi jamsostek

Jamsostek dilandasi filosofi kemandirian dan harga diri untuk mengatasi risiko sosial ekonomi.

Kemandirian berarti tidak bergantung pada orang lain dalam membiayai perawatan pada waktu sakit, kehidupan dihari tua maupun keluarganya, bila meninggal dunia.

Harga diri berarti jaminan tersebut diperoleh sebagai hak dan bukan belas kasihan orang lain.

sumber : jamsostek.co.id

Rabu, 23 Februari 2011

Pandangan Hak Perburuhan

LATAR BELAKANG
Secara umum gerakan buruh di Indonesia diyakini telah atau tengah tidur panjang baik oleh elemen dan pendukung gerakan maupun - dan terutama - oleh kalangan yang berada di luar gerakan. Bahkan untuk sementara kalangan, gerakan buruh dianggap sudah tidak relevan dan tidak ada harapan. Pandangan semacam itu tidak sepenuhnya salah karena secara sistematis dan obyektif memang muncul fakta-fakta yang melahirkan dan menguatkan pandangan tersebut.
Sejak Orde Baru berkuasa, politik perburuhan didominasi oleh warna korporatis dengan kebijakan-kebijakan perburuhan yang represif untuk mengendalikan serikat buruh yang membuahkan serikat buruh kuning yang jinak. Meskipun ada dinamika yang memunculkan riak-riak yang berbeda, dan memandang dari permukaan, secara umum hampir sepanjang Orde Baru praktis tak ada yang dapat disebut sebagai gerakan buruh. Namun pengamatan yang sedikit lebih mendalam memperlihatkan justru dalam tekanan, bibit-bibit gerakan terus disemai dan tumbuh dan merupakan penyumbang bagi bergeliatnya gerakan buruh di masa-masa setelahnya hingga kini.
Setelah Orde Baru berakhir, peluang untuk lahirnya gerakan buruh melalui dibukanya pintu berserikat secara bebas dirayakan dengan munculnya begitu banyak serikat dalam jumlah yang mencengangkan yang menghasilkan perpecahan dan persaingan antar serikat. Kebebasan berserikat juga tidak menambah jumlah buruh yang berserikat, meskipun jumlah organisasi serikat buruh menjadi sangat banyak.
Meskipun demikian, sejak paruh kedua satu decade orde reformasi, mulai muncul tunas-tunas yang tersemai untuk bangkitnya kembali gerakan buruh di tengah situasi yang sangat didominasi oleh kekuatan modal yang hampir sepenuhnya menentukan berapa luas ruang gerak yang dapat dimiliki oleh buruh. Situasi tersebut menjadi alasan dilakukannya penelitian ini. Studi ini ingin memahami jaringan perburuhan sebagai salah satu strategi memperjuangkan kepentingan buruh dalam konteks gerakan buruh di Indonesia dengan cara memotret pergerakan dan aktivitas para pelaku gerakan melalui kegiatan berjaringan yang dilakukan, dengan mengambil rentang waktu 1980 hingga 2006.

FOKUS DAN PERTANYAAN PENELITIAN
Perkembangan dan strategi berjaringan yang dilakukan oleh elemen-elemen gerakan buruh di Indonesia, dengan memusatkan jaringan yang muncul di Jakarta dengan sedikit perbandingan pengalaman dari Bandung. Dua pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana profil dan dinamika jaringan perburuhan dalam kurun 1980-2006?
2. Apa keluaran dan apa dampak kegiatan jaringan perburuhan terhadap situasi gerakan buruh saat ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut penelitian ini membagi pembabakan jaringan buruh dalam empat kurun waktu, masing-masing untuk periode 80an-90an, tahun 1991-1997, tahun 1998-2003 dan tahun 2004-2006. Pembabakan ini didasarkan pada kebijakan industrialisasi dan kebijakan perburuhan yang dominan yang menjadi konteks sekaligus factor penting yang mempengaruhi situasi dan dinamika jaringan buruh. Pembabakan dilakukan dalam upaya untuk dapat melihat kesinambungan, perubahan dan perkembangan yang terjadi yang menyangkut strategi berjaringan, aktor-aktor jaringan, isu utama yang diangkat yang akan memberikan gambaran mengenai perubahan strategi gerakan buruh dalam usaha menggapai kepentingannya.
SUMBER INFORMASI
Informasi dalam penelitian ini dikumpulkan secara kualitatif melalui wawancara dengan 18 orang aktivis SB, 8 orang aktivis LSM, 3 mantan aktivis perburuhan, 1 orang dari lembaga donor. Sumber lain adalah dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh jaringan-jaringan yang diteliti, catatan pertemuan jaringan, seminar, lokakarya yang diselenggarakan oleh elemen jaringan yang dihadiri atau dilibati oleh AKATIGA, data-data sekunder berupa dokumen-dokumen penelitian yang relevan dari AKATIGA dan dari penelitian yang dilakukan pihak lain. Sebagian dokumen juga berasal dari hasil penelitian Kosuke Mizuno dkk yang telah terbit sebagai Direktori Serikat Pekerja/Serikat Buruh Indonesia (AKATIGA-CSEAS 2007).


KERANGKA BERPIKIR
Gambar di bawah ini menggambarkan kerangka yang digunakan untuk memahami situasi dan dinamika jaringan:

DEFINISI KERJA
Gerakan buruh adalah aksi-aksi (dalam berbagai bentuk) kaum pekerja untuk mendesakkan kepentingan mereka kepada pemerintah dan pengusaha. Gerakan buruh selain terdiri dari serikat buruh, juga LSM dan mahasiswa serta anggota kelas menengah dan akademisi (warga universitas dalam hal ini dosen).
JARINGAN PERBURUHAN
himpunan aktor-aktor perburuhan yang dibentuk untuk mempengaruhi atau mendesakkan kebijakan perburuhan tertentu.
Temuan Penelitian.
Dinamika, bentuk aksi dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan factor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor gerakan. Dengan kata lain tidak ada factor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.
Kebijakan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi yang bertumpu pada investasi asing dan didukung oleh pengendalian serikat buruh adalah kerangka dominan yang membingkai ruang gerak gerakan buruh selama Orde Baru berkuasa hingga senjakalanya. Ketika rezim Orde Baru berganti, tumpuan pada investasi asing semakin besar meskipun pengendalian terhadap serikat buruh sangat dikendurkan oleh Negara akan tetapi secara sistematis dilemahkan oleh modal dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan kata lain modal adalah penentu utama, bila tidak satu-satunya, setting arena gerakan buruh di Indonesia sejak awalnya.
Mencermati perkembangan situasi perburuhan selama empat periode, berikut ini adalah ciri-ciri yang muncul:
 Pada periode 80-90 dalam iklim SB tunggal jaringan perburuhan beranggota hanya serikat buruh dan dibentuk oleh sebagian serikat buruh lapangan kerja yang menolak unitarisme dari FBSI menjadi SPSI yang menghapus otoritas dan kewenangan SBLP dalam mengurus anggotanya dan mengalihkannya ke pengurus pusat SPSI. Aksi jaringan SBLP menghasilkan dikembalikannya kewenangan sector dan metode pendidikan untuk penguatan basis di tingkat pabrik sebagai ujung tombak kekuatan serikat. Keluaran dari metode pendidikan tersebut adalah aktivis-aktivis tingkat basis yang kritis terhadap SPSI dan pemerintah yang kelak menjadi tokoh serikat buruh alternatif.
Di masa ini dikeluarkan kebijakan yang mengizinkan militer secara legal melakukan intervensi dan terlibat dalam kasus perselisihan perburuhan serta penempatan militer pensiun maupun aktif dalam jajaran manajemen maupun pengurus serikat merupakan hal yang jamak. Semua ini menandai rezim perburuhan yang sangat represif tetapi sekaligus memunculkan tokoh-tokoh perlawanan dari SPSI yang menjadi motor jaringan untuk melawan keterlibatan militer dalam urusan perburuhan.
Akhir periode ini juga ditandai oleh munculnya LSM perburuhan yang bergerak untuk melakukan pembelaan terhadap eksploitasi dan kondisi kerja buruk yang dialami oleh buruh pabrik-pabrik padat karya yang menghasilkan garmen dan sepatu untuk pasar ekspor, ketika SPSI praktis tidak melakukan apa-apa. Selain melakukan pembelaan, LSM perburuhan juga melakukan pendidikan organisasi dan hak-hak buruh kepada para buruh di tingkat pabrik.
 Periode 90-97 ditandai oleh SB tunggal federatif dan dibukanya kebebasan untuk mendirikan SB tingkat basis meskipun tetap hanya satu serikat yang diakui pemerintah. SPSI yang tetap mandul di masa ini melahirkan jaringan perburuhan yang dimotori LSM dengan aksi-aksi menolak militerisme dan menolak UU Ketenagakerjaan 25/1997. Di masa ini pula lahir dua serikat buruh alternative yang juga dimotori oleh LSM. Sangat jelas dalam periode ini LSM memegang peran penting dalam membangun jaringan dan menggerakkan (isu-isu) buruh. Gerakan LSM perburuhan ini sama sekali terpisah dari SPSI sebagai institusi akan tetapi berjaringan dengan aktivis-aktivisnya yang tidak puas terhadap kinerja SPSI.
Intervensi militer dalam urusan perburuhan semakin meresahkan dan menjadi isu utama yang diangkat oleh jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM. Iklim perlindungan HAM di tingkat internasional berhembus pula di Indonesia yang menyebabkan munculnya banyak LSM perburuhan dan kegiatan beberapa tokoh LSM tersebut antara lain adalah dibentuknya SB alternative. Pendirian SBSI dan pendeklarasiannya yang dihadiri oleh LSM perburuhan dan kelompok-kelompok buruh dampingan LSM dari Jawa dan Sumatera Utara menunjukkan sentralnya peran LSM dalam gerakan buruh di Indonesia.
Kasus Marsinah tahun 1993 yang menghebohkan yang menjadi bukti intervensi militer melahirkan berbagai jaringan LSM dan mahasiswa untuk menggalang solidaritas dan memprotes keras kasus tersebut. Tekanan jaringan terhadap kasus ini cukup efektif juga karena didukung oleh media massa. Kasus ini diusut secara sangat berliku dan para pelakunya dijatuhi hukuman.
Aksi buruh yang fenomenal yang dimotori oleh ketua SBSI yang mantan aktivis LSM, Mohtar Pakpahan terjadi di Medan tahun 1994 yang berhasil mengerahkan ribuan buruh untuk menuntut besaran upah minimum.
LSM pula yang menjadi roh gerakan menolak UU Ketenagakerjaan tahun 25/97 di akhir senjakala Orde Baru. 12 LSM perburuhan bergabung dalam jaringan yang dinamai KPHP (Komisi Pembaruan Hukum Perburuhan) secara sistematis dan substansial melakukan aksi penolakan UU tersebut ditandai dengan dikeluarkannya buku yang berisi pemikiran para ahli mengenai mengapa UU itu harus ditolak. Dalam pandangan KPHP UU tersebut belum memuat hak-hak dasar buruh seperti jaminan atas pekerjaan, kebebasan berorganisasi dan mogok, lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan yang adil. Aksi penolakan UU 25/97 juga dilengkapi dengan aksi massa oleh kelompok-kelompok buruh. Situasi politik yang rentan, awal krisis ekonomi dan aksi-aksi penolakan yang konsisten yang menyebabkan kepala-kepala pemerintahan yang silih berganti dalam kurun waktu amat pendek mengambil sikap aman dengan penundaan pemberlakuan UU tersebut menunjukkan penolakan ini sangat berhasil. Dan selama lima tahun UU untuk mengatur perburuhan kembali ke UU lama sebelum akhirnya dikeluarkan UU 13/2003.
Dalam periode ini dikeluarkan kebijakan upah minimum dan untuk selanjutnya tuntutan upah minimum menjadi agenda aksi pokok dalam aksi-aksi buruh disamping agenda menolak kebijakan-kebijakan lain yang merugikan buruh.
LSM juga membentuk jaringan untuk mengangkat isu perempuan dalam perburuhan yang selama ini selalu terpisah. Jaringan ini beranggotakan aktivis perempuan LSM yang mengurus isu perempuan dan kelompok-kelompok buruh perempuan serta berusaha memasukkan isu perempuan dalam jaringan LSM dan buruh yang menangani isu buruh secara umum. Kegiatan jaringan untuk isu buruh perempuan ini berhasil memasukkan gagasan tentang persoalan kesehatan reproduksi dan K3 dalam RUU PPK dan PHI melalui jaringan yang beranggotakan LSM dan buruh untuk isu buruh yang lebih umum meskipun kemudian karena jaringan tersebut bubar tak ada kelanjutan gagasan itu untuk diakomodasi dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam kaitannya dengan pengangkatan isu perempuan, dibentuk jaringan buruh dan LSM yang bertujuan meningkatkan kapasitas kepemimpinan perempuan untuk mengurus organisasi buruh.
Jaringan-jaringan perburuhan di masa ini dimotori oleh LSM perburuhan yang bekerja sama dengan kelompok-kelompok buruh di tingkat basis baik yang merupakan anggota SPSI maupun bukan, yang kritis. Penting dicatat bahwa SPSI sebagai sebuah organisasi tidak pernah terlibat dalam jaringan dan aksi-aksinya karena menganggap LSM perburuhan tidak memiliki kewenangan atau urusan dalam persoalan perburuhan. Pertautan hubungan yang intensif di antara LSM dengan kelompok buruh mengalami pasang surut dan menghasilkan sifat hubungan semacam ‘benci tapi rindu’ di antara keduanya. Beberapa pertemuan dilakukan di antara keduanya maupun internal masing-masing mengenai bagaimana sebaiknya peran LSM : menjadi serikat atau menjadi pendukung serikat. Perdebatan mengenai hal ini ternyata cukup tajam dan mampu menyebabkan perpecahan dalam jaringan. Di kalangan buruh LSM acap dianggap sebagai penjual buruh kepada para donor akan tetapi pada saat yang sama berbagai kebutuhan dana kelompok buruh dipenuhi melalui jaringannya dengan LSM yang secara langsung mempunyai hubungan dan akses kepada donor. Perdebatan ini tetap berlangsung di masa-masa setelahnya bahkan hingga saat ini (lihat misalnya indoprogress.blogspot.com/2007/10 dan /2008/03/).
Patut dicatat di sini bahwa LBH adalah LSM yang sangat sentral dalam dinamika jaringan dan aksi buruh di Jakarta dan sekitarnya. Disanalah digagas dan dilaksanakan berbagai pembentukan dan aksi-aksi jaringan buruh. Bagaimanapun, peran LSM dalam membentuk jaringan dan menggerakkan aksi-aksi buruh di masa ini tak dapat disangkal. Demikian juga peran LSM dalam mendorong munculnya dua serikat buruh baru yang fenomenal di tengah rezim yang represif.
Periode 1998-2003 ditandai dengan keragaman serikat buruh dengan munculnya kebebasan berserikat. Segera muncul puluhan serikat dan secara garis besar terdapat empat kelompok serikat buruh yakni kelompok SPSI, kelompok pecahan SPSI, kelompok serikat yang tak ada latar belakang serikat buruh dan kelompok SB dukungan atau bentukan LSM. Lima tahun pertama masa kebebasan berserikat memperlihatkan situasi yang memprihatinkan karena serikat buruh yang menjadi elemen utama gerakan selain sangat banyak ternyata juga sangat rentan terhadap perpecahan, SPSI mengalami perpecahan yang intensif. Tiga kelompok serikat lain juga tak kebal terhadap perpecahan yang parah dan merisaukan .
Di tengah bermunculannya serikat, jaringan perburuhan yang dimotori oleh LSM dan kelompok serikat buruh independent serta kelompok serikat pecahan SPSI tetap aktif, berdampingan dengan kegiatan jaringan buruh yang dimotori dan beranggotakan para aktivis serikat pekerja kelompok pecahan SPSI dan serikat yang baru sama sekali. Jaringan-jaringan tersebut dibentuk untuk merespon peraturan mengenai pesangon dan proses kebijakan perumusan paket 3 UU Perburuhan dengan strategi masing-masing. Jaringan untuk menolak perubahan ketentuan pesangon sebagaimana dicantumkan dalam keputusan menteri no.78 tahun 2001 dan no.111 tahun 2001 dibentuk oleh SB dan LSM dengan melakukan tekanan melalui aksi massa yang dilakukan serentak di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Aksi penolakan ini kemudian tidak berlanjut karena perhatian dialihkan kepada isu RUU PPI dan PPK yang kelak menjadi UU Ketenagakerjaan dan UU PPHI.
Jaringan yang digerakkan oleh LSM melakukan serangkaian kegiatan advokasi dengan konferensi pers, diskusi-diskusi pembahasan RUU, rapat dengar pendapat dengan parlemen yang dilengkapi dengan aksi massa dan permintaan peninjauan kembali UU 13/2003. Jaringan serikat kelompok pecahan SPSI mengambil strategi yang mirip dengan strategi jaringan LSM tetapi tanpa aksi massa dan wakil-wakil mereka dipilih oleh parlemen untuk membahas RUU 13/2003 dan 04/2004. Jaringan kelompok ini juga mendapatkan fasilitas dari pemerintah dalam berbagai bentuk antara lain penggunaan gedung Depnaker untuk mengadakan pertemuan-pertemuannya.
Jaringan lain yang muncul masa ini adalah jaringan yang dibentuk untuk mendesak pemerintah agar secara resmi 1 Mei diakui sebagai hari buruh dan diperingati. Jaringan ini mendesakkan tuntutannya melalui aksi-aksi massa yang diorganisir dengan rapi dan memperluas anggota jaringan dengan merangkul media massa, mahasiswa, aktivis etnis Cina dan LSM miskin kota dan melakukan aksinya di setiap peringatan 1 Mei. Hingga kini 1 Mei memang dapat diperingati oleh buruh dengan berbagai aksi dan kegiatan.
Muncul pula jaringan yang difasilitasi oleh donor antara lain jaringan untuk memantau pelaksanaan Code of Conduct dengan anggota para aktivis serikat dan LSM perburuhan.
Di periode ini peran LSM sebagai penggerak jaringan menyurut dibandingkan periode sebelumnya dan serikat mulai memimpin dan mengambil inisiatif. Tampaknya ini semacam konsekuensi logis dari munculnya organisasi-organisasi buruh karena iklim kebebasan berserikat. Dan secara alamiah hal ini juga merupakan hasil dari proses-proses pendidikan dan pengkaderan yang selama ini dilakukan oleh para aktivis perburuhan.
PERIODE 2004-2006
Situasi kebijakan yang memberlakukan praktek buruh kontrak dan outsourcing melalui UU 13/2003 menjadi agenda utama jaringan-jaringan buruh yang di masa ini lebih banyak digerakkan oleh serikat. Strategi aksi massa untuk menolak praktek hubungan kerja yang sangat merugikan buruh itu dilakukan oleh berbagai jaringan buruh tidak saja di Jakarta tetapi juga di kota-kota lain. Peringatan 1 Mei menjadi saat yang selalu digunakan untuk mengangkat isu ini. Isu ini juga menyatukan buruh dari berbagai serikat dan dari berbagai sector termasuk sector jasa dan kerah putih yang selama ini tidak menjadi anggota jaringan.
Masa ini muncul tanda-tanda serikat menjadi semakin solid setidaknya dengan dilakukannya aksi massa yang menggabungkan hampir semua kelompok serikat buruh. Satu aksi besar yang sangat berhasil yang dilakukan pada 1 Mei 2006 harus dicatat dalam sejarah gerakan buruh kita karena berhasil membatalkan rencana pemerintah untuk melakukan revisi terhadap UU 13/2003. Aksi ini seperti mengulang keberhasilan aksi jaringan yang menolak UU 25/1997.
Dengan melihat jaringan-jaringan yang pernah ada dalam periode ini, dapat dikatakan bahwa dibandingkan pada periode sebelumnya, meski aktornya relatif tetap, jumlah jaringan yang terbentuk makin menyusut. Dalam jaringan-jaringan di periode ini, peran SB makin besar sementara peran LSM makin berkurang. Isu upah masih terus menjadi isu jaringan, sementara isu perempuan masih tetap marginal dan sulit untuk sinergi dengan isu yang dominan.
Perkembangan terakhir menunjukkan sedang mulai terjadinya kristalisasi kekuatan serikat di tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. Kristalisasi serikat terjadi dengan dibentuknya jaringan antar serikat dari keempat kelompok yang berusaha menyatukan agenda aksi untuk memberikan artikulasi yang lebih kuat terhadap persoalan-persoalan perburuhan yang paling meresahkan dan harus menjadi prioritas.
KESIMPULAN
• Gerakan buruh di Indonesia tak pernah mati. Aksi-aksi buruh yang dilakukan dengan strategi berjaringan yang melibatkan elemen-elemen gerakan terus dilakukan baik secara berkesinambungan maupun secara independent. Kegiatan berjaringan sebagai upaya mengartikulasikan kepentingan buruh merupakan sebuah cara yang efektif untuk menjaga denyut gerakan buruh.
• Dinamika, bentuk aksi dan hasil dari strategi berjaringan dipengaruhi oleh jalinan factor internal dan eksternal yang tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh aktor-aktor gerakan. Dengan kata lain tidak ada factor penyebab tunggal yang bekerja yang menentukan dinamika dan keluaran dari strategi berjaringan.
• Terdapat kesinambungan kegiatan jaringan dari periode ke periode terutama dari sisi actor. Sebagian actor penggerak jaringan mempunyai kaitan sejarah dengan periode 80an baik sebagai pelaku maupun sebagai hasil kaderisasi yang terjadi dalam setiap periode. Usaha-usaha penguatan basis melalui kegiatan pendidikan keorganisasian dan hak-hak buruh yang terus-menerus dilakukan sangat bermanfaat dalam menyiapkan kader-kader pemimpin buruh dan gerakan saat ini.
• LSM berperan penting dalam pembentukan jaringan-jaringan perburuhan khususnya di periode ketika serikat masih tunggal. Perannya menyurut seiring dengan munculnya serikat-serikat buruh yang semakin kuat dan berpengaruh.
• Terdapat perkembangan strategi aksi jaringan dari yang berciri reaktif menjadi proaktif, dari hanya merespon situasi atau kebijakan yang tidak menguntungkan, berkembang menjadi mendesakkan kebijakan atau mengusulkan konsep-konsep baru.
• Ditengah persaingan dan perpecahan serikat serta persoalan internal yang terus dihadapi baik oleh LSM maupun serikat, kemunculan jaringan-jaringan buruh menyiratkan bahwa hal-hal positif lah yang dibawa oleh masing-masing anggota jaringan sehingga tujuan pembentukan berbagai jaringan relative mencapai tujuannya. Dinamika jaringan juga menunjukkan adanya kesadaran bahwa aksi bersama akan lebih kuat pengaruhnya dibandingkan aksi individual dan hal ini melahirkan potensi kristalisasi kekuatan buruh di tengah situasi fragmentasi.
• Terdapat kristalisasi kekuatan serikat buruh di tengah fragmentasi yang masih terus terjadi. Kristalisasi ini merupakan bukti bagaimana serikat buruh belajar bahwa perpecahan bersifat kontraproduktif terhadap gerakan dan kepentingan buruh, dan bahwa hanya pihak ‘musuh’ yang akan diuntungkan dari perpecahan itu.

SUMBER : http://www.akatiga.org/index.php/penelitian/diseminasi/91-dinamika-perburuhan